Mengenal Tradisi Lisan atau Pribahasa di Masyarakat Sunda

- 6 Juli 2022, 17:40 WIB
Foto Ilustrasi: Mengenal Tradisi Lisan di Masyarakat Sunda
Foto Ilustrasi: Mengenal Tradisi Lisan di Masyarakat Sunda /Hening Prihatini/buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013 Kelas 5 SD/MI

 

PURWAKARTA NEWS - Dalam pengajaran adat kepada masyarakatnya (Sunda) bisa belajar dengan percaya kepada nasihat orang tua, guru dan sepuh (orang yang di tua kan).

Mereka mengajar ke jalan yang baik untuk menghindari sesuatu yang mengakibatkan kecelakaan, atau akan menimbulkan dosa, durhaka, atau kutukan.

Oleh karena itu, kalau orang sengaja berbuat kecelakaan, orang itu akan disebut kurang ajar melanggar nasihat orang tua, atau durhaka, terkutuk oleh orang yang menasehatinya.

Baca Juga: Sudah Mengenal Istilah-Istilah Waktu dalam Kebudayaan Sunda? Cek Disini penjelasannya

Dalam pengajaran adat itu, yang berhak mengajarinya adalah orang yang lebih tua umurnya daripada yang diajari karena banyak pengalamannya. Mereka mengajari atas apa yang mereka ketuhui, dan mereka alami.

Atau karena ada hubungan saudara atau keluarga yang masih dekat. Karena itu, segala perbuatan harus sesuai dengan caranya.

Terkadang ada juga yang pengajarannya itu diatur oleh perbuatan dirinya sendiri, perbuatan yang menjadi contoh kebaikan. Perbuatan tersebut akan diikuti oleh keturunannya yang lebih muda, yaitu jalan yang dipercaya dan dapat dijadikan contoh.

Kadang-kadang memberi nasihat dengan jalan menceritakan para leluhur dan menakut-nakuti dengan sesuatu yang mungkin menakutkan. Dibujuk dengan sesuatu yang menarik hati mungkin akan lebih melekat dalam hatinya dan bertambah kepercayaan.

Cukup dengan perkataan; 'jangan melakukan sesuatu yang diangap pamali'. Itu membuat yang mendengarnya tidak berani melakukan hal tersebut.

Baca Juga: Makna Lagu 'Pileuleuyan' Lagu Daerah Jawa Barat dengan Lirik Lagu Bahasa Sunda

Maka dari itu, berikut adalah kalimat larangan atau pamali yang masih melekat di masyarakat Sunda.

1. Ulah diangir sore-sore, matak maot di pangumbaraan.

Maksudnya ini menunjukan waktu yang tanggung untuk berkeramas pada sore hari.

Hal ini berkaitan dengan suhu udara sore hari yang mana merupakan peralihan antara siang menuju malam, yang apabila berkeramas pada waktu itu rentan terkena penyakit, yang kemudian sankinya berupa mati di perantauan itu menjadikan bahwa ketika badan menjadi rentan penyakit maka ketika bepergian/merantau badan akan mudah sakit dan bisa saja meninggal.

Baca Juga: Masyarakat Purwakarta Harus Tahu Tentang Istilah-istilah Waktu dalam Kebudayaan Sunda

2. Ulah ditiung ranggap, matak kotokeun.

Hal ini berkaitan dengan ke mubadziran dalam hal pakaian. Karena untuk apa memakai kerudung rangkap sampai dua, bukankah satu saja sudah cukup. Maka sanksinya berupa kotokeum (kurang awas pandangan) karena memakai dua kerudung sekaligus.

3. Ulah diuk dina meja, matak loba hutang.

Ini berkaitan dengan hal kedisiplinan dalam diri, larangan dilarang duduk di atas meja yang pertama karena meja itu bukan tempat duduk, dan jika di duduki tentu akan rusak.

Oleh sebab itu sanksi berupa banyak utang itu karena memperbaiki meja memerlukan seuah biaya, kalau tidak puya maka jalan untuk memperbaikinya yakni berhutang.

4. Ulah gunta-ganti tobas (piring alas), matak loba dunungan.

Maksudnya tentu jika kita makan banyak mengganti piring akibatnya akan banyak piring atau wadah yang kotor dan menyebabkan banyaknya piring yang harus dicuci, hal ini seolah-olah seperti banyak majian yang menyuruh membersihkan banyak wadah.

Baca Juga: Bale Indung Rahayu, Wisata Edukasi Kebudayaan Sunda di Purwakarta

Maka cukup saja satu piring/wadah jika hendak makan.

5. Ulah diuk dina nyiru, matak unggah balewatangan.

Maksudnya, larangan ini berkaitan dengan kesopanan, nyiru yang berupa kata benda ini di urang Sunda digunakan sebagai tempat menjemur makanan berupa kerupuk mentah, nah jika di duduki maka tentu bukan hal yang semestimya.

Maka sanskinya berupa unggah balewatangan yang artinya banyak tudingan atau fitnah bila melakukan duduk di atas nyirum karena hal itu tidak pantas.

Itulah beberapa contoh yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, Masih banyak lagi larangan-Larangan yang masuk sebagai tradisi lisan Pamali di Masyarakat Sunda.

Tentunya hal itu baik untuk kita, agar nilai-nilai, norma, atau hukum adat Sunda bisa dihargai oleh generasi penerusnya. Kadang pada era moedern ini, tradisi lisan pamali sudah tidak didengar, bahkan diacuhkan.***

Editor: Solahudin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah